Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Dalam Rangka Mencapai Swasembada Gula

August 1, 2016

Siapakah yang tidak tertarik manisnya gula? Ketertarikan itu rupanya sudah berakar dalam budaya kita, terbukti dengan banyak peribahasa yang menggunakan kata gula. Misalnya yang paling populer adalah “Ada gula ada semut”. Atau yang kurang populer, misalnya “Seperti gula dalam mulut”, “Tak usah bimbang, gula dan mulut, tinggal telan saja”, “Semanis-manis gula, ada pasir di dalamya”, atau “Hitam-hitam gula jawa”. Semua mengandung kata gula, yang mengisyaratkan kemanisan, kesuksesan, kata yang bermadu, atau wajah yang manis. Sayangnya, industri gula Indonesia tidaklah semanis yang terekam dalam peribahasa. Pernah berjaya pada masanya, yaitu pada era sebelum Perang Dunia II dengan merajai perdagangan gula dunia, industri gula nasional saat ini masih harus berjuang untuk mencapai swasembada. Pertumbuhan permintaan yang tinggi dari sektor rumah tangga serta sektor industri makanan, minuman, dan farmasi belum dapat dipenuhi  dari hasil produksi dalam negeri.

Dengan mengingat bahwa gula merupakan komoditas pangan utama yang penting bagi perekonomian nasional, maka pemerintah memutuskan untuk mengimpor gula untuk menutupi kekurangan tersebut. Keputusan membuka keran impor harus diakui merupakan kebijakan yang dilematis. Di satu sisi, keputusan itu merugikan petani tebu dan industri pergulaan nasional. Keputusan importasi juga sering dikaitkan dengan kurangnya pembelaan terhadap ekonomi domestik. Di sisi lain, keputusan importasi dapat mendorong perkembangan sektor  industri pengguna gula (yaitu sektor makanan, minuman, dan farmasi) selain juga menjaga kesejahteraan warga masyarat dengan penyediaan gula pada tingkat harga yang wajar. Bagimanapun, lebih baik apabila industri gula nasional dapat memenuhi kebutuhan domestik karena akan memberikan dampak pengganda yang lebih besar bagi pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.

Program Revitalisasi, Intensifikasi, Diversifikasi, dan Ekstensifikasi (PRIDE)

Terdapat berbagai tantangan yang melingkupi industri gula saat ini. Tantangan tersebut dapat berupa mesin pabrik yang sudah tua, rendemen yang rendah, biaya produksi yang tinggi, atau luas lahan yang semakin menyempit, atau tantangan-tantangan yang lain. Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, diperlukan program-program yang komprehensif dalam bentuk revitalisasi, intensifikasi, diversifikasi, dan sekaligus ekstensifikasi pergulaan nasional. Untuk lebih mudahnya, kita namakan saja program itu PRIDE, sekaligus untuk menggambarkan upaya-upaya untuk merebut kembali kebanggaan industri pergulaan. Penjelasan dari tiap komponen program adalah sebagai berikut.

Program revitalisasi berkaitan dengan peremajaan dan pembangunan pabrik gula (PG). PG di Jawa, sebagian besar adalah pabrik yang sempat menyaksikan kedigdayaan industri gula pada masanya. Artinya, banyak dari PG tersebut sudah berusia tua dengan teknologi yang belum mengikuti perkembangan mutakhir. Untuk membangun PG baru tentu dibutuhkan investasi. Saran untuk meningkatkan investasi di industri pergulaan akan diuraikan di bagian akhir paparan ini.

Program intensifikasi terkait dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas perkebunan tebu. Hal-hal yang dapat dilakukan misalnya penggunaan teknologi untuk penyediaan bibit, pupuk, dan sarana pertanian. Khusus yang menyangkut budidaya tebu oleh rakyat (tebu rakyat), perlu ditambahkan penyediaan kredit produksi dengan syarat yang ringan dan mudah serta dapat dicairkan tepat pada waktu dibutuhkan.

Program diversifikasi merupakan inovasi-inovasi yang harus dilakukan pada tingkat PG, agar dapat menciptakan produk-produk baru di luar produk utama, yaitu gula. Produk sampingan yang potensial misalnya  ampas tebu (bagasse), tetes tebu (molasse), dan limbah padat. Ampas tebu dapat dipergunakan untuk menghasilkan particle board untuk furnitur, sebagai sumber energi, atau pakan ternak. Tetes tebu dapat diolah lebih lanjut untuk industry makanan dan farmasi, sedangkan limbah padat bisa diolah menjadi bio-kompos. Hasil sampingan lain yang penting adalah bioethanol, yang akan dijelaskan di bagian berikut. Produk sampingan tersebut dapat berperan menurunkan biaya produksi dan meningkatkan laba perusahaan. Hal ini tentu sangat terkait dengan program revitalisasi PG.

Program ekstensifikasi terkait dengan peningkatan luas perkebunan tebu. Hal ini krusial, karena di Pulau Jawa banyak sawah beririgasi tidak lagi ditanami tebu, karena tebu tidak dapat bersaing dengan tanaman padi atau penggunaan tanah untuk kepentingan lain. Oleh karena itu perlu dikembangkan perkebunan tebu, baik perkebunan tebu rakyat (TR), perkebunan besar Negara (PBN), atau perkebunan besar swasta (PBS) di luar daerah Jawa. Lebih baik lagi apabila pabrik gula terintegrasi dengan perkebunan tersebut. Sudah pasti, investasi yang diperlukan sangat tinggi. Sebagaimana program revitalisasi, saran untuk peningkatan investasi akan dibahas pada penutup artikel ini.

Swasembada Gula, Kedaulatan Pangan dan Energi Terbarukan

Semangat untuk mencapai swasembada gula tidak pernah pudar dan perlu terus dibangkitkan demi mendorong industri gula dan sektor industri yang terkait, menumbuhkan perekonomian, serta meningkatkan kesejahteraan petani yang menggeluti usaha budidaya tebu. Swasembada gula juga berperan penting dalam mencapai kedaulatan pangan, yaitu penyediaan pangan yang bertumpu pada kemampuan nasional dan sedapat mungkin menghindari ketergantungan dari sumber-sumber pangan dari luar negeri.

Dalam jangka panjang, apabila produksi gula sudah berlebih, gula dapat diproses menjadi produk lain yang mempunyai nilai tambah yang lebih besar. Salah satu diversifikasi yang layak dicoba nantinya adalah gula sebagai sumber energi terbarukan, yaitu dalam bentuk bioethanol. Brazil sebagai kampiun produksi gula di dunia saat ini, sudah berhasil mengupayakan produksi bioethanol dari gula tebu. Bahkan produksi etanolnya menempati ranking kedua terbanyak setelah Amerika Serikat. Keberhasilan Brazil merupakan cermin keberhasilan pemanfaatan teknologi dalam pertanian sehingga dapat menghasilkan produksi tebu yang melimpah, yang didukung oleh kawasan lahan yang luas dan potensial.

Untuk saat ini, bagi Indonesia hal tersebut masih merupakan impian. Bukan saja karena produksi tebu yang masih kurang mencukupi, tetapi juga karena teknologi pemrosesan yang masih perlu ditingkatkan. Pada saat ini, harapan memproduksi bioethanol cukup layak disandang oleh industri kelapa sawit. Dari keberhasilan Brazil bolehlah kita belajar untuk menggunakan ampas tebu (bagasse) sebagai sumber energi panas dan listrik, yang dapat mengurangi biaya produksi sehingga dapat meningkatkan daya saing.

Kawasan Ekonomi Khusus

Tibalah akhirnya artikel ini pada penutupnya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, penutup ini akan membahas saran dalam rangka meningkatkan investasi industri gula. Jawabnya adalah dengan mengoptimalkan insentif-insentif yang ditawarkan oleh Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). KEK merupakan kawasan atau wilayah dengan batas tertentu dimana pada kawasan tersebut diberikan insentif khusus dalam rangka meningkatkan kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang berdaya saing internasional. Menariknya, insentif yang diberikan pada KEK sangat komprehensif, sehingga KEK sering disebut menawarkan ultimate incentives.

KEK didasarkan pada Undang-undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus. Fasilitas-fasilitas yang ditawarkan termaktub dalam Peraturan Pemerintah nomor 96 Tahun 2015 tentang Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus. Fasilitas dan kemudahan yang diberikan mencakup perpajakan, kepabeanan, dan cukai, lalu lintas barang, ketenagakerjaan, pertanahan dan perizinan serta nonperizinan. Khusus tentang fasilitas fiskal, Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.010/2016 tentang Perlakuan Perpajakan, Kepabeanan dan Cukai pada Kawasan Ekonomi Khusus.

Dengan berbagai macam fasilitas tersebut, kiranya industri pergulaan dapat memanfaatkan kemudahan-kemudahan tersebut dalam rangka mencapai PRIDE, swasembada gula, dan kedaulatan pangan. Semoga.