SWF, Pendanaan Pembangunan, dan Akuntabilitas

December 31, 2020

Pelitabanten.com – Barangkali sebagian pembaca bertanya, apakah SWF itu? SWF merupakan singkatan dari Sovereign Wealth Fund (SWF). Jika diterjemahkan secara kaku berarti dana abadi negara atau dana kekayaan negara atau dana investasi negara. Terjemahan yang terakhir ini lebih mendekati kenyataan di Indonesia, setidaknya ditinjau dari nama lembaga yang dibentuk.

Pada 14 Desember 2020, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 74 Tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi (LPI) yang dimaksudkan sebagai SWF Indonesia. Demikian pula, cikal bakal SWF di Indonesia dapat disematkan pada Pusat Investasi Pemerintah (PIP) yang dibentuk 2007 tetapi kemudian dilikuidasi tahun 2015. Kedua lembaga tersebut menyandang nama “investasi”, sesuai dengan tujuan dibentuknya.

Meskipun secara umum bertujuan sebagai dana investasi yang dikelola oleh negara, SWF dapat dibedakan dari sumber dana dan tujuan investasinya. Ada SWF yang dibentuk untuk mengelola hasil dari sumber daya alam.  Contohnya adalah Norwegia, Arab Saudi atau Kuwait, yang menabung rejeki dari minyak dan diputar dalam investasi jangka panjang. Jenis kedua merupakan SWF yang mengelola kelimpahan cadangan devisa, sebagaimana dilakukan oleh negara tetangga Singapura dengan dua SWF-nya yaitu Government Investment Center (GIC) dan Temasek Holding.

SWF jenis ketiga mengelola dana pensiun, sebagaimana dilakukan oleh Australia dan Selandia Baru. Dan keempat, SWF yang mengelola dana pemerintah dan investor swasta untuk mendukung pembangunan. Jenis keempat ini diterapkan di Rusia dan India, dan merupakan jenis SWF yang cocok bagi Indonesia mengingat sumber dananya yang bersifat campuran.

SWF milik Singapura, atau Malaysia dengan Khazanah Nasional Berhad dan 1Malaysia Development Berhad (1MDB) atau Norwegia dengan Norway Government Pension Fund Global merupakan contoh SWF bagi negara-negara yang mempunyai kelebihan dana. Terdapat pula SWF yang didirikan oleh negara-negara yang secara umum defisit, misalnya Turki atau Mesir. Indonesia yang termasuk negara yang defisit bisa mencontoh Rusia dan India, yang menggunakan SWF sebagai jalan untuk menarik investasi langsung. Dalam konteks inilah, SWF dapat berperan mendanai pembangunan.

Peran SWF Dalam Pendanaan Pembangunan

Sebagaimana diketahui, saat ini Indonesia mencanangkan bebagai proyek strategis nasional, yang tentu membutuhkan dana investasi yang sangat besar. Sayangnya, anggaran pemerintah yang dapat dialokasikan untuk proyek-proyek tersebut sangat terbatas. Demikian pula, pendanaan BUMN juga terbatas. SWF berpotensi menarik dana investasi langsung yang besar.

Selama ini, kebutuhan dana investasi BUMN sebagian besar dipenuhi dari pinjaman dengan tingkat bunga yang relatif mahal. Sebagai contoh, Waskita Karya untuk membangun proyek infrastruktur memperoleh sumber pendanaan dari pinjaman dan obligasi dengan membayar tingkat bunga yang tinggi. Dengan demikian, SWF dapat berperan sebagai sumber pendanaan jangka panjang yang lebih murah. Selain itu, proyek infrastruktur mempunyai titik impas (break event point, BEP) jangka panjang, padahal pinjaman yang diperoleh umumnya merupakan pinjaman jangka pendek atau menengah. SWF akan membantu BUMN karya, untuk menyelaraskan antara jangka waktu pendanaan dengan jangka waktu proyek tersebut menghasilkan.

Seberapa murah? Pada kasus Indonesia, karena negara tidak mempunya surplus pendanaan, maka aset-aset uang dimasukkan dalam SWF merupakan aset BUMN, selain sumber dari APBN. Menurut Pak Harry Su dari Samuel International pada diskusi publik Prodeep Institute tanggal 28 Oktober 2020, bentuk SWF di Indonesia akan lebih mirip reksadana, yang akan memberikan hasil kepada investor dalam bentuk dividen. Dengan demikian, jika melihat bahwa rata-rata imbal hasil surat utang pemerintah Amerika Serikat 10 tahun terakhir adalah 2,6 persen, maka SWF Indonesia perlu memberikan imbal hasil sekitar  3-4 persen (dalam dolar Amerika Serikat) agar bisa menarik investor.

Pertanyaannya bagaimana membuat proyek yang mempunyai imbal hasil yang tinggi agar investor bersedia menanamkan modal dalam jangka panjang?  Menurut para narasumber pada diskusi publik tersebut, terdapat beberapa proyek infrastruktur yang sangat cantik di mata investor, misalnya jalan tol, bandara, dan terminal peti kemas. Demikian pula proyek-proyek pariwsata dan pelayanan kesehatan juga sangat potensial.

Perlunya Akuntabilitas

Di satu sisi, SWF dapat berperan mendorong pembangunan. Di sisi lain, perlu dipertimbangkan kasus 1Malaysia Development Berhad yang terjebak pusaran korupsi. Mengambil pelajaran kasus tersebut, kita perlu menengok secara serius masalah tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Masalah ini perlu dikemukakan secara khusus, karena tulisan opini Pak Dahlan Iskan, mantan Menteri BUMN, menganjurkan perlunya keluwesan bagi LPI untuk bergerak. Termasuk keluwesan tersebut misalnya adalah mengeluarkan LPI dari dilema para pengambil keputusan di BUMN yang takut mengambil keputusan yang berisiko (yang biasanya memberikan hasil yang tinggi). Ketakutan itu karena khawatir dikenakan pasal merugikan keuangan negara. Dalam kerangka itulah, bahkan Pak Dahlan Iskan mewacanakan agar LPI tidak perlu diperiksa lembaga pemeriksa keuangan negara.

Apakah pengendalian sudah mencukupi? Dalam struktur LPI memang terdapat Dewan Pengawas yang dibantu oleh Komite Audit, Komite Etik dan Komite Remunerasi dan SDM. Demikian pula, laporan keuangan LPI akan diaudit oleh Kantor Akuntan Publik yang terdaftar pada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tentu saja, pengaturan-pengaturan tersebut tidak dapat menghalangi pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana diamanatkan pada Pasal 23 UUD 1945, UU 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara serta UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK.

SWF sangat penting dan perlu didukung. Tata kelola yang baik semoga dapat membuat LPI menjadi alat pembangunan yang sukses bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ditulis oleh Akhmad Solikin, dimuat di PelitaBanten.com pada 30 Desember 2020.


Asdos dan Perubahan

December 1, 2020

Lewat tulisan ini, pertama-tama saya mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada para Asisten Dosen (Asdos) yang telah membantu Jurusan dengan melakukan pengabdian kepada mahasiswa dengan cara mengajarkan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya kepada mahasiswa-mahasiswa yang lain. Demikian pula, saya berterima kasih dan memberikan penghargaan kepada para dosen pembimbing yang telah berlelah-lelah membimbing para Asdos ini. Semoga amal kebaikan yang para Asdos dan rekan-rekan dosen lakukan, tercatat sebagai amal perbuatan yang baik. Selanjutnya, dalam tulisan ini saya juga mengajak menengok bagaimana peran Asdos dan kemudian berusaha menarik makna bagi kita semua.

Pada status Facebook Bang Helmi Yahya, Ketua IKANAS, pada tanggal 3 Juli 2019 dapat dibaca bahwa sejak tahun 1979 lulusan terbaik STAN ditawari menjadi Asisten Dosen atau Asdos. Diceritakan oleh Bang Helmi Yahya, bahwa motivasi awal tertarik menjadi Asdos karena penempatan di Jakarta dan tidak perlu ke Luar Jawa. Tercatat nama-nama populer sebagai mantan Asdoser, misalnya Bang Helmi Yahya, Ibu Sumiyati (Inspektur Jenderal Kemenkeu), dan Pak Amien Sunaryadi (mantan pimpinan KPK). Informasi keasdosan Bu Sumiyati bisa dibaca di Edukasi Keuangan (2014) dan keasdosan Pak Amien Sunaryadi bisa dilihat di Antaranews.com (2014). Penelusuran pada laman FB Alumni STAN, juga menemukan nama-nama: Dite Abimanyu, Kinarso Kiputra, Mulyadinoto, dan Muhammad Yusuf Ateh (Kepala BPKP, yang memberikan orasi ilmiah pada wisuda PKN STAN tahun 2020). Beliau-beliau adalah tokoh-tokoh yang memimpin perubahan pada organisasinya.

Asdos yang berkarir di internal juga tak kalah mentereng. Mantan Direktur STAN Pak Kusmanadji dan Direktur PKN STAN yang sekarang Pak Rahmadi Murwanto, juga mantan Asdoser. Profil singkat beliau bisa dibaca di Media Keuangan (2012; 2017). Angkatan asdos yang lebih muda terdapat nama-nama legend misalnya Pak Kuwat Slamet, Pak Tjahjo Winarto, Pak Agus Sunarya Sulaiman, Bu Budiasih Widiastuti, Pak Akhmad Priharjanto, Pak Kodirin, dan Pak Ridhwan Galela. Kemudian bisa disebut juga Pak Yuniarto Hadiwibowo, Pak Soffan Marsus, Bu Aisyah Kustiani, Pak Prayudi Nugroho, Pak Andy Hamzah, Pak Ali Tafriji Biswan, Pak Agung Nugroho, dan Pak Oke Wibowo[1] (Mohon maaf jika ada nama yang terlewat). Sebagian besar nama-nama ini pernah mengawal perubahan dari STAN menjadi PKN STAN, dan sekarang pun beliau-beliau ini berperan baik langsung atau tidak langsung dari PKN STAN menjadi PKN STAN yang baru.

Pengalaman saya pribadi, dulu ketika tahun 1995 pendataan penempatan memilih BPPK sebagai penempatan pertama, dengan harapan menjadi Asdos. Angkatan saya waktu itu yang penempatan BPPK ada lumayan banyak, saya tulis di sini untuk mengawetkan kenangan. Urut berdasarkan abjad nama, bukan urut IP ya: Akhmad Solikin, Amrul Yusroni, Arifah Fibri Andriani, Arif Kurniadi, Dyah Purwanti, Ika Priana Murti (almarhumah), Insyafiah, Mulyadi, Pratin, Rusmaya Adriansa, Subkhan, Sujarwo, Supriyadi, Sutiono, Suwarso, Suyuti, Taufikurrahman, dan Tri Awal Rahtantio. Meskipun sama-sama memilih BPPK, ternyata hanya ada beberapa rekan yang beruntung penempatan di STAN sebagai Asdos, yaitu Arifah Fibri Andriani, Taufikurrahman (suami Arifah), Suwarso, dan Rusmaya Andriansa. Lulusan yang lain, termasuk saya, penempatan di Pusdiklat atau Balai Diklat Keuangan, dan ikut membantu mengajar peserta diklat, bukan mengajar mahasiswa di STAN seperti cita-cita awal. (Jadi tolong dibedakan antara peserta diklat dan mahasiswa!). Pada akhirnya, beberapa teman masih berkarir di BPPK baik sebagai pejabat struktural maupun fungsional widyaiswara, di eselon 1 lain di lingkungan Kemenkeu. Beberapa rekan yang lain melakukan perubahan yang besar dengan keluar dari PNS dan kemudian sukses berkarir di swasta. Di antara yang berkarir di BPPK, yang sekarang berkhidmat di PKN STAN sebagai dosen adalah Dyah Purwanti, Arifah Fibri, Pratin, dan saya.

Asdoser di masa lalu penuh dengan orang-orang hebat dan berpretasi, karena memang direkrut untuk penempatan di STAN dari lulusan yang terbaik. Asdoser tersebut bertugas menggantikan dosen yang berhalangan hadir mengajar, maklum waktu itu yang mengajar banyak dari pejabat aktif di Kemenkeu. Hal tersebut memaksa Asdoser harus menguasai beberapa matakuliah akuntansi. Meskipun Asdos generasi sekarang menggunakan sistem yang berbeda dari jaman STAN dahulu, suatu hal yang saya harapkan tetap demikian wahai kalian para Asdos generasi sekarang, tidak boleh ada halangan bagi kalian meniru kehebatan generasi awal. Dalam istilah Barney dan Wright (dalam Fuad, 2009) kalian semua (lulusan secara umum, dan khususnya Asdos) bisa disebut VRIO: Valuable, Rare, difficult to Imitate, dan semoga nanti penempatan dengan Organisational structures yang mendukung kalian untuk melakukan perubahan.

Lalu apa kaitannya Asdos dengan perubahan? Sebagai generasi VRIO, creme de la creme, kalian harus terus beradaptasi dengan perubahan, dan menjadi agen perubahan. Dalam istilah Pak Rhenald Kasali, jika perlu kalian menulis ulang kode DNA menjadi yang lebih terbuka: OCEAN; yaitu keterbukaan terhadap pengalaman hidup (Opennes to experience), keterbukaan hati dan telinga (Conscientiousness), keterbukaan diri (Extroversion), keterbukaan untuk kesepakatan (Agreeableness), dan keterbukaan terhadap tekanan (Neuroticism) (Ciptono, 2007). Berkaca dari pengalaman karir angkatan saya, yang mengawali karir sebagai lulusan D3 Akuntansi, kemudian sama-sama memilih penempatan BPPK. Tetapi ternyata suratan nasib membawa kami menapaki jalan-jalan yang sangat berbeda, karena tantangan organisasi dan respon perubahan yang berbeda dari setiap orang. Hal yang sangat wajar, yang saya yakin juga akan kalian temui dalam perjalanan karir kalian. Bagi kami alumni yang berkarir terutama di satu organisasi Kementerian Keuangan, dengan kondisi kerja yang relatif ideal (Prabowo, 2017), alumni mencatatkan pola karir yang beraneka. Apalagi kalian yang akan penempatan di berbagai kementerian/lembaga/pemerintah daerah, tentu akan lebih bervariasi. Sekali lagi, bukalah diri terhadap perubahan dan siapkan diri kalian menjadi agen perubahan, dalam rangka promote the good and prevent the bad, amar ma’ruf nahi munkar (Ciptono, 2007).

Pelajaran yang dapat dipetik bahwa dalam meniti jalan kehidupan, perlu terus belajar, beradaptasi dengan perubahan, tentu dengan menjaga nilai-nilai yang dianut. Perjalanan hidup mempunyai cerita dan tantangannya masing-masing. Yang awalnya sama-sama penempatan di BPPK, saat ini ada yang berusaha sebagai wirausaha herbal, ada yang sebagai CEO di perusahaan swasta (petikan pengalaman beliau bisa dibaca di Kumpulan Tulisan Alumni STAN, 2013). Siapa yang mengira? Keputusan kita pada setiap momentum dan belokan-belokan pada perjalanan kehidupan, akan menentukan menjadi apa kita pada akhir periode kisahnya. Senantiasa memantaskan dan mempersiapkan diri untuk menghadapi momentum, yang sesuai karakternya momentum itu sangat langka dan window of opportunity-nya sangat singkat. Dengan pengertian seperti itu, saya mengharapkan kalian para Asdos khususnya dan kalian lulusan D3/D4 Akuntansi pada umumnya untuk tetap belajar lewat mengajar. Jadikan pengalaman mengajar kalian sebagai cambuk pengingat bahwa ketika kalian berbuat baik (misalnya dengan mengajarkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, atau menularkan sikap baik yang dipercayai), maka akan mendapatkan reward, baik kalian terima tunai pada saat ini atau menjadi tabungan amalan yang hakiki. Bagaimana jika ada yang meleset? Terimalah hal tersebut sebagai kehendak Alloh dan perlu kita syukuri dengan takzim apa yang telah dianugerahkan kepada kita. Jangan khawatir, ada Yang Maha Lembut, yang catatan-Nya tak pernah luput.

Terakhir: saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip pernyataan seorang ahli yang dimuat di IG dan FB LPDP Kementerian Keuangan. Bukan ahli akuntansi atau ahli manajemen perubahan, tetapi dia ahli bela diri. Namanya Naruto Uzumaki, dari Politeknik Ninja Negeri Konoha. Naruto berkata: “Jika kau menungguku untuk menyerah, kau akan menungguku selamanya”. Jadi Gaes, tetaplah mengalir, tetaplah bermanfaat, terbukalah untuk berubah, dan jangan menyerah!

Referensi

AntaraNews.com. (2014, 19 November). Profil Mantan Pimpinan KPK yang Jadi Kepala SKK Migas. https://www.antaranews.com/berita/465121/profil-mantan-pimpinan-kpk-yang-jadi-kepala-skk-migas. Diakses 24 Oktober 2020.

Ciptono, W. S. (2007). Re-Code your change DNA: The Rhenald Kasali’s views on the organisational change management. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 22(4), 466-480.

Edukasi Keuangan. (2014). Kembali ke dunia pendidikan, kembali ke passion. Edukasi Keuangan, 26, 17-20.

Facebook Alumni STAN, 11 November 2015. Facebook https://web.facebook.com/ 514088872064754/posts/1231513313655636/?_rdc=1&_rdr. Diakses 24 Oktober 2020.

Facebook Helmy Yahya, 3 Juli 2019. https://web.facebook.com/helmyyahya72/ posts/asdoser-begitulah-akhirnya-kami-menyebut-diri-kami-sejak-tahun-1979-lukusan-terb/2310445282540741/?_rdc=1&_rdr. Diakses 24 Oktober 2020.

Facebook LPDP Kementerian Keuangan, 24 Oktober 2020. https://web.facebook.com/ LPDPKemenkeu/photos/pcb.1717635038401589/1717634851734941/?type=3&theater. Diakses 24 Oktober 2020.

Fuad, N. (2009). Peningkatan mutu sumber daya manusia di bidang keuangan negara. Dalam Abimanyu, A. & Megantara, A. (Eds). Era Baru Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi. Jakarta: Kompas. Media Keuangan. (2012). Ikhlas Dalam Bekerja dan Berpretasi. Media Keuangan, Vol. 7, No. 60, Agustus 2012, hal. 19-20. https://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/ media%20keuangan/media%20keuangan%20agustus%202012/html/files/assets/basic-html/page19.html. Diakses 24 Oktober 2020.


[1] Hasil wawancara dengan Arifah Fibri Andriani via WhatsApp, 24 Oktober 2020.

***

Ditulis oleh Akhmad Solikin. Dimuat dalam Asisten Dosen Akuntansi. (2020). Mendaki Gunung Mimpi: Asa Mahasiswa Akuntansi PKN STAN. Jakarta: Tim Buku Asdos.